
Sabtu, 15 Agustus 2015, di
Perempatan Condong Catur, Sleman, DIY, kekesalan Joyo --sapaan akrab Elanto-- mencapai puncaknya ketika aturan lampu merah tidak ditegakkan dengan baik karena kepentingan pihak tertentu. Alasan Joyo sederhana, ketika sistem sudah tidak berjalan, sebagai warga harus saling mengingatkan.
Perempatan Condong Catur, Sleman, DIY, kekesalan Joyo --sapaan akrab Elanto-- mencapai puncaknya ketika aturan lampu merah tidak ditegakkan dengan baik karena kepentingan pihak tertentu. Alasan Joyo sederhana, ketika sistem sudah tidak berjalan, sebagai warga harus saling mengingatkan.
Minggu, 16 Agustus 2015 dari situs jaringan berita sosial, Rappler,
curahan hati Joyo ditulis secara lengkap oleh Famega Syavira Putri.
Berikut penggalan kutipan pernyataan Joyo mengapa aksi tersebut
dilakukan.
"Target saya sederhana, kalau lampu merah mereka harus
berhenti. Setelah beberapa kali lampu merah, polisi lalu lintas mau
menuruti dan mengatur sesuai lampu.
Pesan sederhananya adalah, ini memang nampak sepele, cuma soal
lampu merah dan soal pengawalan. Tapi kita bicara soal prinsip hukum,
ada aturan, tapi sudah tidak ditegakkan. Apalagi pelakunya termasuk
aparat kepolisian, walaupun mereka bisa berlindung di balik pasal karet.
Saya sendiri berpikir ini tak pantas, seharusnya warga tak perlu sejauh
ini ketika aparat bisa berfungsi."
Semua yang terjadi di ruang kota dan wilayah saling terkait,
termasuk semua yang terjadi di ruang publik dan di jalan raya. Konvoi
ini pun sebenarnya berhak memakai jalan, karena semua orang berhak
membuat kegiatan. Tapi tentu saja aktivitas itu tidak boleh menganggu
orang lain.
Di situlah perizinan, pengawasan dan sanksi seharusnya berperan
dalam tata kelola pemerintahan wilayah. Tapi yang kita lihat khususnya
di Jogja, yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan prinsip yang ada
di aturan dan hukum.
Konvoi ini masih akan ada sampai Senin, tapi saya tak merasa
perlu melakukan pencegatan lagi. Saya ingin melihat apakah aparat
berfungsi. Kalau tidak, keterlaluan sekali jika aparat baru melakukan
fungsinya setelah ada tekanan warga.
Siapa yang harus mengawal itu semua? Dalam dunia yang ideal,
harapan ada di wakil rakyat. Tapi kita tahu, kita tak bisa mengandalkan
mereka. Justru mereka jadi bagian dari masalah itu sendiri. Maka
solusinya adalah gerakan warga.
Saya yakin sebenarnya warga sudah pernah bertindak di lokasi
lain. Memang tidak semua orang punya kesempatan untuk bisa bertindak
ketika melihat sesuatu yang salah. Bukan soal berani tak berani, tapi
mungkin tak semua orang bisa atau punya kesempatan bertindak.
Warga sebagai sesama masyarakat harus bisa saling mengingatkan.
Tidak ada orang yang bisa 100 persen benar. Ukuran selalu relatif
sehingga komunikasi antar masyarakat selalu diperlukan.
Dalam jangka panjang, saya sebagai warga Jogja ingin ikut
membangun modal sosial Jogja, membantu menyambung antar inisiatif.
Siapapun bisa melakukan itu, siapapun bisa melanjutkan. Tentu saja itu
harus rutin dan harus bergulir terus, entah sampai kapan, mungkin
selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar